welcome

selamat datang di bog sederhana ini... walau sederhana suatu saat blog ini akan mendunia...

Sabtu, 19 Maret 2011

makalah


Tugas kelompok
“OTONOMI DAERAH DAN MASALAH DEMOKRATISASI DI DAERAH”


DISUSUN OLEH :
KELAS IP.3.A
ANDI FATRI INDRIADI
105 64 378 09
III IP A
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
2011

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarkatu
Puji syaukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT, atas limpahan rahmatnyalah sehingga Kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “otonomi daerah dan masalah demokratisasi di daerah”.
Tidak lupa pula saya kirimkan syalawat dan taslim kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, atas perjuangan beliaulah sehingga kita dapat terlepas dari dunia gelap gulita menuju dunia yang terang akan rahmat sang pengcipta.
Dan kepada dosen dan teman-teman yang ikut memberikan dorongan, serta motifasi kepada kami, kami ucapkan banyak terima kasih.
Assalamualaikum warahmatullahi wabarkatu

Daftar ISI
Kata pengantar
Daftar isi
Bab I : Pendahuluan
a. Latar Belakang ..................................................................
b. Rumusan Masalah .............................................................
Bab II : Pembahaasan
a. Otonomi Daerah dan Masalah Demokratisasi Daerah
b. Perubahan Kelembagaan dan Demokratisasi Di Daerah
c. Penguatan Lembaga Perwakilan (DPRD)
dan Masalahnya.................................................................
d. Pentingnya Kontrol...........................................................
Bab III : Penutup
a. Kesmpulan ..........................................................................
b. Saran ....................................................................................
Daftar pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Pemberian otonomi yang lebih besar kepada daerah, sebagaiman ayang terdapat pada UU No 22 dan Nomor 25 Tahun 1999, yang diajukan melalui UU yang menggantikanya lima tahun kemudian, merupakan bagian dari rekayasa (institutional enginiiring) untuk mempercepat proses demokrasi di indonesia, termasuk demokrasi
di daerah
Melalui pengaturan itu materi yang diberikan bukan hanya sebatas pada masalah-masalah administrasi melaikankan juga masalah-masalah politik, seperti pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengatur dirinya sendiri. Di samping itu, daerah juga di mungkinkan untuk mengelolah ekonominya secara lebih mandiri.
b. Rumusan Masalah
1. Otonomi daerah dan masalah demokratisasi daerah
2. Perubahan kelembagaan dan demokratisasi di daerah
3. Penguatan lembaga perwakilan (DPRD) dan masalahnya
4. Pentingnya kontrol

c.
BAB II
PEMBAHASAN
a. OTONOMI DAERAH DAN MASALAH DEMOKRATISASI DAERAH
Adanya desentralisasi politik, misalnya, tampak pada adanya perubahan relasi antara pemerintah pusat dan daerah. Sebelumya, kekuasaan dan kewenagan berpusar di jakarta. Setelah otonomi daerah kewenagan dan kekuasaan itu relatif menyebar ke daerah karena sebagian besar urusan pemerintah di transper di daerah. Situasi yang tidak kalah penting berkaitan dengan relasi antar lembaga eksekutif (bupati/wali kota, dan gubernur) dengan lembaga legislatif (DPRD). Sebelumnya kekuasaan dan kewenagan lwmbaga legislatif berada dibawah subordinasi eksekutif. Setelah otonomi, relasi kekuasaan dua lebaga itu relatif sejajar. Yang terakhir ini tida lepas dari diperbesarnua hak dan kewenangan DPRD.
Melalui perubahan seperti ini, bangunan relasi antar pemerintahan pusat dengan pemerintahan akan memungkinkan berlangsung secara demokratis. Tidak hanya itu, bangunan kehidupan politik yang lebih demokratisasi di daerah juga akan lebih dimungkinkan terjadi.
b. PERUBAHAN KELEMBAGAAN DAN DEMOKRATISASI DI DAERAH
Di dalam riteratur yang membahas mengenai desentralisasi otonomi daerah, baik yang menekan pada desentralisasi administrasi maupun politik, disebutkan pentingnya lembaga di daerah dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi derah. Hal ini dikemukakan oleh para ahli yang lebih menyoroti desentralisasi dari aspek fiskal dan pasar.
Sementara itu kelompok yang menenkankan desentralisasi lebih memberikan perhatian pada bagaimana lembaga ditingkat lokal mampu membangun proses politik yang lebih baik sehingga kehidupan politik di tingkat lokal dapat berlangsung secara demokratis. Menurut pandangan penganut desentralisasi politik, efisiensi dan efektifitas dalam pelayanan publik di daerah, khususnya yang berkaitan dengan proses perumusan dan kebijakan publik yang bersentuhan dengan rakyat.
Agar lebaga di tingkat lokal dapat melakukan desentralisasi, maka yang sering dilakukan adalh perubahan kelembagaan yang lebih substansial, baik dalam struktur organisasi maupun fungsinya.
Meminjam istilah Hirschman, menurut Burn, Hamleton, dan Hoggett (1994) upaya menigkatkan demokratisasi di tingkat lokal bisa dilakukan melalui mekanisme suara (voice), yaitu adanya mekanisme yang memungkinkan terdengarnya dan tersalurnya aspirasi politik dari masyarakat. Untuk itu terdapat 4 pendekatan umum yang bisa dilakukan sebagai berikut (Burn et al: 35-36).
1. Melalui perbaikan sestem demokrasi perwakilan (impropving representative democracy).
2. Kedua, melalui cakupan demokrasi perwakilan (exetending representative democracy).
3. Ketiga, Melibatkan demokrasi partisipatisipatoris ke dalam demokrasi perwakilan (infuising representative with participatory democrasi).
4. Yang terakhir yaitu, memperluas demokratisasi partisipatoris (extending partisipatory democracy).
c. PENGUATAN LEMBAGA PERWAKILAN (DPRD) DAN MASALAHNYA
Perubahan yang sangat besr terjadi dalam otonom daerah terjadi berkaitan dengan posisi DPRD, baik ditingkat kabupaten/kota atau di tingkat provinsi. Pada mas pemerintahan orde baru, atau tepatnya sebelum UU Nomor 22 Tahun 1999 diberlakukan, posisi DPRD dapat di katakan lemah. Secara kelembagaan, sebagaimana yang terdapat didalam UU Nomor 5 Tahun 1974, kelemahan itu terletak pada posisi DPRD, yaitu menjadi bagian dari pemerintah daerah. Di dalam pasal 13 UU itu dikatakan, “Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Meskipun demikian mengingat para wakil yang duduj di DPRD merupakan kepanjangan tangan dari partai politik, apa yang merka lakukan tidak lepas dari orang yang berpengaruh dalam partai, dalam hal ini ketua dewan pembina kalau di Golkar. Budaya politik indonesia yang masih bercorak paternalistik semakin menambah sulitnya DRPD untuk menjalankan fungsinya khususnya dalam melakukan fungsi kontrol terhadap eksekutif.
Karakteristik para wakil rakyat yang lebih mewakili partai itu lebih mewakili partai itu membuat DPRD bertambah sulit menjalankan fungsinya kalau melihat fakta lain, yaitu adanya anggota DPRD yang tidak di pilih melalui pemilu. Mereka adalah para wakil dari TNI/Polri, sebelumnya ABRI dalam sejarah politik Orde Baru, ABRI dan Golkar merupakan dua instrumen penting untuk membangun sistem politik yang bercorak hegemonik itu. TNI/Polri di berikan hak istimewah untuk duduk di lembaga perwakilan rakyat tampa pemilu karena mereka menjalankan fungsi politik selain pungsi pertahanan dan keamanan, fungsi demikian diberlakukan karena TNI/Polri dianggap memiliki sejarah penting dalam menegakkan negara kesatuan (NKRI).
Lemahnya DPRD tidak lepas dari corak otonomi daerah yang ada di Indonesia sebelum jatuhnya pemerintahan Soeharto, yang cenderung terletak pada masalah administratif dari pada masalah politik (Gerritson dan Sitomurang, 1999). Di dalam corak demikian, daerah hanya sedikit diberi keluasan untuk membuat kebijakanya sendiri. Daerah lebih banya diberi kewenangan untuk melaksanakan fungsi yang di tentukan oleh pusat. Sedangkan perumusan kebijakan termasuk berbagai perencanaan, khususnya yang bersifat sterategis, di tentukan oleh pusat.
Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 DPRD memilikih peran yang lebih bear. Secara struktural, DPRD tidak lagi di bawah eksekutif tetapi sejajar. Kedudukan DPRD tidak ubahnya seperti kedudukan DPR pasca-pemerintahan soeharto, hal ini di lihat dari kedudukan, tugas, dan wewenang, serta hak-hak yang dimiliki sebagai mana terdapat dalam bagian kedua UU Nomor 22 Tahun 1999 itu. DPRD, misalnya, tidak hanya dapat memilih dan menetapkan dan memilih Bupati/ wali kota atau gubernur. Mereka juga berhak mengajukan pemberhentian bupati/walikota atau gubernur itu. Secara anggaran DPRD tidak lagi bergantung pada eksekutif karena mereka memiliki hak untuk menetapkan anggaran, termasuk untuk anggaran dirinya sendiri.
Meskipun demikian, kekuasaan yang besar ini ternyata rawan atas penyalagunaan wewenang kekuasaan. Hal ini terlihat dari terpilihnya kepala daerah yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.
Pelaksanaan dan kewenangan di dalam Laporan Pertanggungjawaban (LPI). Kekuasaan dan kewenagan tersebut sangat bermamfaat sebagai mekanisme kontrol terhadap kepala daerah, kekuasaan dan kewenagan di dalam anggaran. Pada masa yang lalu, anggaran DPRD sangat tergantung dengan kemamuan eksekutif.
d. PENTINGNYA KONTROL
Penguatan lebambaga perwakilan rakyat di daerah dimaksudkan sebagai upaya untuk melaksanakan kontrol terhadap jalanya pemerintahan di daerah dan untuk membangun demokrasi di daerah.
Di negara yang memiiliki corak sistem politik yang demokratis, realitas yang seperti bisa di minimalkan dengan terdapatnya relasi yang lebih baik dan rasional antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya. Jose Maria Maravall (1999) menjelaskan relasi itu dalam kerangka teori agensi (the agency theory).
Sebagai konsekuensi dari di pakainya sistem pemilu proporsional sebenarnya pera kontrol terhadap wakil rakyat itu bisa di lakukan oleh partai politik. Tetapi mekanisme tersebut tidak berjalan dengan baik. Di antara sebabnya karena peraturan tentang hak recall tidak bisa di pakai pada anggota DPR hasil pemilu 1999. Hal itu di hilangkan karena terdapat kekhawatiran disalah gunakanya oleh partai politik seperti pada masa pemerintahan orde baru. Hak recall jusru diperuntukkan bagi para wakil rakyat yang kritis kepada pemerintahan. Tetapi, di dalam perkembanganya , hak recall itu di berlakukan kembali setelah pemilu 2004, setelah pertai-partai merasakan adanya pembangkangan-pembangkangan yang di lakukan oleh anggota di DPR/D periode 1999-2004.
Berkaitan dengan realitas seperti itu, upaya melakukan demokratisasi di tingkat daerah tidak cukup hanya memberikan hak yang lebih besar kepada lembaga perwakilan rakyat di daerah. Perwakilan kelembagaan lain yang terkait juga perlu di berlakukan. Pertama berkaitan dengan sistem kepartaian. UU tentang partai politik yang masih belum kondusif bagi demokratisasi di daerah. Sistem kepartaian yang di rancang masih bersifat sentralistik, khususnya dilihat dari model organisasi dan kepemipinan. Realitas demikian bertolak belakang dengan gagasan otonomi daerah. Ketika gagasan otonomi daerah dilaksanakan, seharusya dimungkinkan terda[at desentrakisasi di dalam sistem kepartaian.
Desentalisasi sistem kepartaian itu tidak hanya berkaitan dengan organisasi dan kepemmpinan serta program kerja partai, melainkan juga berkaitan dengan munculya partai lokal. Yang terakhir ini bisa bermakna dua hal; pertama partai yang hanya eksis di daerah tertentu, misalnya di dalam kabupaten/kota tertentu atau provinsi tertentu.
Yang kedua, perbaikan sistem pemilu. Untuk memperbaiki relasi antara wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya dapat di lakukan melalui perbaikan sistem pemilu yaitu di mungkinkan bagi pemilih untuk memilih secara langsung wakilnya.

BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Kebijakan otonomi daerah sebagaimana terdapat di dalam UU Nomor 22 dan 35 Tahun 1999 member peluang yang lebih baik daam pembangunan relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Melalui dua UU tersebut daerah tidak hanya memiliki kewenagan yang lebih besar di bidang administrasi, melaikan juga di bidang politik. Daerah juga di mungkinkan untuk mengelolah ekonominya secara lebih mandiri. Melalui kebijakan otonomi daerah seperti ini ketimpangan ekonomi politik antar daerah dan pusat bisa diminimalkan.
b. Saran
Demikian makalah ini kami buat dengan sebaik-baiknya, sesungguhnya dalam pembuatan makalah ini pasti masih banyak kesalahan karena itu kami sangat senang bila ada yang memberikan kritik dan saran agar kami bisa memperbaiki kesalahan kami di pembuatan makalah kami selanjutnya.

Daftar pustaka
- Prof, Dr, Kacung Marijan, sistem politik indonesia, ilmu kencana,cetakan pertama, Jakarta, Mei 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar